Total Tayangan Halaman

Kamis, 22 Desember 2011

apakah GIS dan Penginderaan Jarak Jauh itu ?????????

GIS dan sistim pengelolaan informasi lingkungan saat ini merupakan alat utama yang digunakan di bidang kehutanan dan pengelolaan sumber daya alam. Bagaimanapun juga, para peneliti menghadapi banyak tantangan yang diantaranya berkaitan dengan skala, perubahan dinamik bentuk bentang alam, kelengkapan dan ketepatan data, efisiensi analisa dan penerapan alternatif dalam melakukan pemantauan status keanekaragaman hayati.

Workshop yang diselenggarakan pada tahun 1998 banyak menyoroti berbagai isu tersebut. Salah satunya adalah Konferensi Internasional yang sebagian dibiayai oleh CIFOR tentang Data Management and Modeling for Tropical Forest Inventory, berlangsung di Jakarta, Indonesia, pada bulan Oktober. Konferensi tersebut berusaha mencari solusi untuk meningkatkan kegiatan pemantauan dan penilaian hutan serta sumberdayanya, disamping memperbaiki model simulasi serta pengumpulan koleksi data yang digunakan dalam pengambilan keputusan tentang penggunaan lahan.

GIS dan teknologi lainnya menjadi fokus utama di banyak kegiatan penelitian CIFOR. Dalam salah satu penerapan temuan barunya, para peneliti di Humid Forest Zone, Kamerun, menggunakan GIS untuk lebih memahami karakteristik pasar hasil hutan non-kayu. Meskipun banyak kajian tentang pasar NTFP sering menyebutkan adanya beberapa karakteristik spatial yang mempengaruhi komersialisai NTFP seperti jarak, infrastruktur transportasi, jumlah populasi dan penyebaran hutan, tetapi hanya sedikit yang menggunakan GIS sebagai alat analisis. Penggunaan teknik ini memudahkan para peneliti CIFOR dan mitranya untuk lebih memahami struktrur spatial pasar dan dinamika perdagangan NTFP di kawasan yang dikaji – hal ini sangat bermanfaat jika lebih ditujukan pada penanganan intervensi kebijakan.

Demikian halnya dengan program baru penelitian NTFP di Kalimantan Timur, Indonesia yang dilakukan oleh CIFOR dan lembaga mitranya akan memperoleh manfaat dengan digunakannya GIS serta komponen analisa spasial yang diluncurkan pada tahun 1998. GIS/kegiatan analisa spasial yang dibiayai oleh hibah dari Canadian International Development Agency (CIDA), akan mengukur serta memetakan perubahan penutupan hutan dan pemanfaatan lahan yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Hal ini diperlukan untuk menyusun kerangka kerja dalam rangka mendukung kajian tentang ketergantungan penduduk lokal pada perdagangan NTFP pada berbagai tingkatan perkembangan hutan.

apakah GIS dan Penginderaan Jarak Jauh itu ?????????

GIS dan sistim pengelolaan informasi lingkungan saat ini merupakan alat utama yang digunakan di bidang kehutanan dan pengelolaan sumber daya alam. Bagaimanapun juga, para peneliti menghadapi banyak tantangan yang diantaranya berkaitan dengan skala, perubahan dinamik bentuk bentang alam, kelengkapan dan ketepatan data, efisiensi analisa dan penerapan alternatif dalam melakukan pemantauan status keanekaragaman hayati.

Workshop yang diselenggarakan pada tahun 1998 banyak menyoroti berbagai isu tersebut. Salah satunya adalah Konferensi Internasional yang sebagian dibiayai oleh CIFOR tentang Data Management and Modeling for Tropical Forest Inventory, berlangsung di Jakarta, Indonesia, pada bulan Oktober. Konferensi tersebut berusaha mencari solusi untuk meningkatkan kegiatan pemantauan dan penilaian hutan serta sumberdayanya, disamping memperbaiki model simulasi serta pengumpulan koleksi data yang digunakan dalam pengambilan keputusan tentang penggunaan lahan.

GIS dan teknologi lainnya menjadi fokus utama di banyak kegiatan penelitian CIFOR. Dalam salah satu penerapan temuan barunya, para peneliti di Humid Forest Zone, Kamerun, menggunakan GIS untuk lebih memahami karakteristik pasar hasil hutan non-kayu. Meskipun banyak kajian tentang pasar NTFP sering menyebutkan adanya beberapa karakteristik spatial yang mempengaruhi komersialisai NTFP seperti jarak, infrastruktur transportasi, jumlah populasi dan penyebaran hutan, tetapi hanya sedikit yang menggunakan GIS sebagai alat analisis. Penggunaan teknik ini memudahkan para peneliti CIFOR dan mitranya untuk lebih memahami struktrur spatial pasar dan dinamika perdagangan NTFP di kawasan yang dikaji – hal ini sangat bermanfaat jika lebih ditujukan pada penanganan intervensi kebijakan.

Demikian halnya dengan program baru penelitian NTFP di Kalimantan Timur, Indonesia yang dilakukan oleh CIFOR dan lembaga mitranya akan memperoleh manfaat dengan digunakannya GIS serta komponen analisa spasial yang diluncurkan pada tahun 1998. GIS/kegiatan analisa spasial yang dibiayai oleh hibah dari Canadian International Development Agency (CIDA), akan mengukur serta memetakan perubahan penutupan hutan dan pemanfaatan lahan yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Hal ini diperlukan untuk menyusun kerangka kerja dalam rangka mendukung kajian tentang ketergantungan penduduk lokal pada perdagangan NTFP pada berbagai tingkatan perkembangan hutan.

Selasa, 13 Desember 2011

hari apa ini???

galau nih kalo gini ceritanya. lo oran bayangin aja, jauh jauh gua come to lampung dari semarang cuma mao jalan jalan sama do'i. eh ga taunya cuma dcuekin ajee..
gag dianggep apa gua ini. hahahaha. mendadak lebay. wkwkwk
mau share dunk gmn buat menghadapi cowok yg kae gtu. orang yg terlalu pols. jalan ma gue,, ceweknya ajee gag mau. paraahhh. mau marah tapi gua sayang. itu juga karna emang sifat dia. bukan karna dia gag mau ketemu gue. bukan karna dia gag sayang ma gue.
aduuhhh,, andai dia tau apa yang gua ppengen yaahh.
pengen pulangggg. oh mama. oh papa. ai miss yu. :-*

Senin, 07 November 2011

Artikel Ilmiah tentang NCBI (National Centre of Biotechnology Information)

Setelah sukses swasembada beras tahun 1984, peningkatan produktivitas padi di Indonesia tidak begitu signifikan. Sementara kebutuhan akan komoditi ini semakin meningkat. Untuk itu, saat ini perlu dilakukan lompatan produktivitas tanaman pangan melalui inovasi bioteknologi. Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin pada lokakarya Dapatkah Biotek Berperan dalam Ketahanan Pangan, di Jakarta, pekan lalu mengungkap, saat ini dibutuhkan lompatan peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional di masa datang. Pada periode 1996-2007, produktivitas padi hanya tumbuh 0,58%, produksi padi tumbuh 1,01%. Peningkatan ini lebih kecil dari pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,3% per tahun, ujarnya. Untuk itu, menurutnya bioteknologi modern menjadi tumpuan untuk meningkatkan produksi padi. Namun sayangnya, kebijakan penerapan bioteknologi belum dapat diterapkan optimal. Padahal, hingga kini belum ditemukan fakta-fakta yang mengkhawatirkan seputar keamanan pangan produk bioteknologi. Lambannya penerapan bioteknologi di Indonesia ini, menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian Achmad Suryana, karena terkendala belum lengkapnya Peraturan Pemerintah (PP). Achmad Suryana mengingatkan tanaman hasil rekayasa genetika merupakan produk teknologi yang sensitif dan masih perlu upaya membangun kepercayaan publik dalam pemanfaatannya di Indonesia. Pembuatan instrumen untuk melaksanakan peraturan tersebut, harus melibatkan berbagai kepentingan (stake holders) yang memiliki sudut pandang berbeda-beda sehingga menyebabkan lambatnya untuk memperoleh kesepakatan. Senada dengan Achmad Suryana, Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika Pertanian, Sutrisno mengatakan agar tanaman produk rekayasa genetika bisa diterapkan secara luas maka perlu memenuhi ketentuan aman lingkungan, aman pangan dan aman pakan. Saat ini pedoman aman lingkungan sudah ada, sedangkan aman pangan baru disahkan oleh Badan POM Juli 2008 berupa Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan, sementara pedoman aman pangan belum ada, kata Sutrisno menambahkan. (Untuk informasi lebih lengkapnya silahkan berlangganan Tabloid SINAR TANI. SMS ke : 0815 8441 4991)